Berawal dari upaya mencari petunjuk tentang mengapa bumi tidak
mengalami pemanasan pada tingkat yang telah diperkirakan para ilmuwan
antara tahun 2000 dan 2010, tim riset dari University of Colorado
Boulder kini beralih pada penyebab yang selama ini tersembunyi: puluhan
gunung berapi yang memuntahkan sulfur dioksida.
Hasil penelitian
mereka pada dasarnya mencabut tudingan bersalah pada negara-negara Asia,
termasuk India dan Cina, yang diperkirakan telah meningkatkan emisi
sulfur dioksida industri hingga 60 persen dari tahun 2000 hingga 2010
lewat pembakaran batubara, ungkap penulis utama studi Ryan Neely.
Sejumlah kecil emisi sulfur dioksida dari permukaan bumi pada akhirnya
membumbung naik setinggi 12 hingga 20 mil ke lapisan aerosol
stratosfir di atmosfer, tempat di mana reaksi kimia menciptakan asam sulfat dan partikel air yang memantulkan kembali sinar matahari ke luar angkasa, mendinginkan planet ini.
Neely
menunjuk beberapa pengamatan sebelumnya yang memperlihatkan bahwa
meningkatnya aerosol di stratosfir sejak tahun 2000 justru mengimbangi
25 persen tingkat pemanasan yang diduga hasil dari pelepasan emisi gas
rumah kaca oleh manusia. “Penelitian baru ini menunjukkan bahwa sejumlah
emisi dari gunung berapi yang kecil hingga menengah telah memperlambat
pemanasan planet ini,” tegas Neely, seorang peneliti dari Cooperative
Institute for Research in Environmental Sciences.
Studi yang dipubikasikan secara online dalam jurnal Geophysical Research Letters
ini sebagian dilakukan untuk menyelesaikan dua hasil studi sebelumnya
yang saling bertentangan mengenai asal usul sulfur dioksida di
stratosfer. Salah satunya studi tahun 2009 yang dipimpin Hoffman David
dari NOAA, yang menunjukkan bahwa peningkatan aerosol di stratosfer
mungkin berasal dari meningkatnya emisi sulfur dioksida di India dan
Cina. Sebaliknya, studi tahun 2011 yang dipimpin Vernier menunjukkan
bahwa letusan gunung berapi berperan dalam meningkatkan partikulat
tersebut di stratosfer.
Studi baru ini juga didasarkan pada studi
tahun 2011 yang dipimpin Salomo, yang menunjukkan bahwa aerosol di
stratosfer meredam sekitar seperempat dari pemanasan efek rumah kaca di
bumi selama dekade terakhir.
Studi baru ini bergantung pada
pengukuran jangka panjang perubahan “kedalaman optik” lapisan anaerosol
di stratosfir, dengan mengukur tingkat transparansinya, kata Neely.
Sejak tahun 2000, kedalaman optik di lapisan aerosol stratosfir telah
meningkat sekitar 4 hingga 7 persen, yang berarti sedikit lebih buram
sekarang dibanding tahun-tahun sebelumnya.
“Implikasi terbesarnya
di sini adalah agar para ilmuwan perlu lebih memperhatikan letusan kecil
dan sedang gunung berapi saat mencoba memahami perubahan iklim bumi,”
saran Brian Toon dari Departemen Ilmu Atmosfer dan Kelautan University
of Colorado, Boulder, “Namun secara keseluruhan, letusan-letusan ini
tidak akan menangkal efek rumah kaca. Emisi gas vulkanik bersifat naik
dan turun, membantu mendinginkan atau memanaskan planet ini, sementara
emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia terus meningkat.”
Kunci
dari hasil studi ini mengkombinasikan penggunaan dua model komputer
yang canggih. Salah satunya Whole Atmosphere Community Climate Model
(WACCM) Versi 3, yang dikembangkan oleh NCAR dan yang secara luas
digunakan di seluruh dunia oleh para ilmuwan untuk mempelajari atmosfer.
Tim riset memasangkan WACCM dengan model kedua, Community Aerosol and
Radiation Model for Atmosphere (CARMA), yang telah dikembangkan oleh tim
riset di bawah pimpinan Toon dalam beberapa dekade ini, dan
memungkinkan para peneliti mengkalkulasi properti aerosol tertentu.
Tim
riset menggunakan superkomputer Janus di kampus untuk menjalankan tujuh
unit komputer sekaligus, masing-masing komputer mensimulasikan
aktivitas 10 tahun atmosfer terkait dengan pembakaran batubara di Asia
maupun emisi gunung berapi di seluruh dunia. Masing-masing pengoperasian
memakan waktu sekitar seminggu, setara dengan waktu yang bisa dicapai
dengan komputer yang menggunakan 192 prosesor,
memungkinkan tim untuk memisahkan antara polusi batubara dari Asia dan
kontribusi aerosol dari letusan kecil gunung berapi di seluruh dunia.
Para
ilmuwan mengatakan bahwa set data iklim 10 tahun yang dikumpulkan untuk
studi ini tidak cukup lama untuk bisa menentukan tren perubahan iklim.
“Makalah ini membahas soal relevansi langsung dengan pemahaman kita
tentang dampak manusia terhadap iklim,” jelas Neely, “Ini pastinya
menarik bagi mereka yang mempelajari sumber variabilitas iklim
10-tahunan, dampak global dari polusi lokal dan peran gunung berapi.”
Jika
letusan kecil dan menengah gunung berapi menutupi sebagian
pemanasan akibat ulah manusia, maka letusan yang lebih besar dapat
berefek jauh lebih besar, ungkap Toon. Sewaktu Gunung Pinatubo di
Filipina meletus tahun 1991, jutaan ton sulfur dioksida yang terpancar
ke atmosfer sedikit mendinginkan bumi selama beberapa tahun ke depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar